Mendadak, dua tokoh mengangkat isu terkait perjanjian yang dibuat Anies Baswedan, bakal calon presiden dari Koalisi Perubahan, ketika maju Pilkada Jakarta 2017. Tak tanggung-tanggung, yang mengangkatnya mantan pasangan Anies di Jakarta yang kini menterinya Joko Widodo, Sandiaga Uno. Lalu, pengusaha nasional asal Sulsel, Erwin Aksa.

Sandi yang juga pengusaha dan politisi Gerindra, mengangkat isu “perjanjian tertulis” soal Anies tak maju capres bila Prabowo masih mencalonkan diri sebagai presiden. Sedangkan Erwin Aksa, pengusaha yang juga politisi Golkar, membeberkan adanya “utang” Anies ke Sandi sebesar 50 miliar terkait Pilkada Jakarta 2017.

Terlepas dari substansinya, apakah benar atau tidak, upaya mengangkat isu ini menunjukkan dua permasalahan etika. Pertama, jika memang ada “perjanjian” dan “utang” itu, pertanyaan besar menyeruak ke publik. Mengapa “perjanjian” yang bersifat internal, jika memang ada, diungkap ke publik?

Apakah memang ada upaya menagih “janji” dan “utang” yang sudah dilakukan berulang kali di ruang privat, tapi menemui jalan buntu? Lalu, jika memang menemui jalan buntu, apakah patut diungkap ke publik?

Di sini, pernyataan dua politisi ini, menunjukkan permasalahan serius terkait dengan etika. Komitmen yang dilakukan di ruang privat, dibuka di ruang publik, dan bernada menyalahkan. Apakah memang etis, perjanjian antar pihak di ruang privat, dibuka dan dijadikan konsumsi untuk publik? Itupun dibuka dengan bernada menyudutkan salah satu pihak. Berupaya membentuk opini negatif terhadap pihak lain. Bukankah jika ada komitmen-komitmen di ruang privat, jika benar ada, seharusnya tetap dijaga di ruang privat?

Permasalahan kedua, apakah pantas Sandi dan Erwin mengangkat dua isu di ranah privat ke publik tanpa ada bukti yang dipaparkan, bermodalkan omongan belaka? Sengaja melontarkan pernyataan-pernyataan yang bernada tendesius dan menyudutkan pihak tertentu, tanpa ada bukti, dan malah meminta konfirmasi ke pihak ketiga.

Ah, kalau begini, Anies Baswedan kita tidak tahu, melanggar etika atau tidak. Karena harus mengecek bukti-bukti dari tuduhan dua pihak di atas dulu. Itupun jika memang ada bukti-buktinya.

Tapi, sikap Sandi dan Erwin, sudah jelas tidak patut kita jadikan contoh. Apapun motivasinya, tokoh nasional seharusnya memberikan teladan dalam membangun opini publik. Berdasar data dan fakta, bukan melontarkan pernyataan tendensius belaka.

Kalau begini, bagaimana kita berharap kualitas pembicaraan di ruang publik menuju Pemilu 2024, bisa lebih baik dibandingkan 2019? Kalau tokoh-tokoh seperti Sandi dan Erwin saja sudah menunjukkan perilaku yang kontraproduktif dalam membangun iklim demokrasi yang sehat seperti ini.

Bukan hanya Anies, dan Koalisi Perubahan, yang harus menyiapkan diri menyambut serangan demi serangan tak berdasar di ruang publik, melainkan kita semua, rakyat Indonesia, juga harus bersiap diri. Ramainya perbincangan ruang publik sepertinya tidak bakal dipenuhi adu gagasan dan program, melainkan oleh lontaran isu-isu yang tak bermanfaat untuk perbaikan demokrasi dan nasib rakyat Indonesia.

Iklan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini