Duet Pemersatu Bangsa atau Duet Penerus Polarisasi?

Ganjar Pranowo

Muncul wacana untuk mengawinkan Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo untuk meredam polarisasi. Ide ini dilontarkan Ketum Partai Nasdem, Surya Paloh, ketika bertemu Presiden Jokowi, beberapa waktu lalu.

Dasar pemikirannya, ada kelompok pendukung Anies Baswedan yang sering disebut sebagai ‘kadrun’, sedangkan Ganjar Pranowo pendukung militannya adalah kelompok yang sering disebut sebagai ‘cebong’. Dua kelompok yang sangat ekstrim dan sering bertarung secara banal di media sosial dan membuat ruang publik riuh rendah dengan saling serang sosok Anies dan Ganjar.

Dengan bersatunya mereka sebagai capres-cawapres 2024, diharapkan pendukung mereka bersatu. Iklim politik kita pun menjadi sejuk, pertarungan narasi di ruang publik tak lagi berisik. Indonesia pun akan bebas dari bahaya polarisasi.

Niatnya memang baik. Tapi, permasalahannya, apakah benar menduetkan kedua sosok ini merupakan solusi atas polarisasi, dan bisa mengurangi pembelahan yang menganga di tengah masyarakat kita?

Sepertinya, klaim ini tidaklah valid. Karena akar polarisasi, bermula dari Pilpres 2014. Ketika Jokowi dan Prabowo bertarung untuk pertama kalinya, head to head. Masyarakat Indonesia yang sangat multipolar, mendadak dibuat seakan hanya memiliki dua pilihan. A atau B. Keterbelahan ini diperkuat dengan saling menyebar kebencian antar kedua belah pihak. Seakan-akan, jika memilih salah satu pihak, berarti menganggap pihak lainnya sebagai musuh.

Pilkada Jakarta 2017 pun menjadi momentum yang semakin mengekalkan keterbelahan ini. Ahok yang dianggap mewakili Jokowi, dan Anies yang dianggap mewakili Prabowo, bertarung sengit di putaran kedua. Upaya saling serang dan menjatuhkan antar kedua kubu, mungkin membuat Pilkada Jakarta tahun 2017 dikenang sebagai salah satu pilkada paling kelam dalam sejarah Indonesia. Pilkada yang menumbuhkan kebencian begitu mendalam antar kedua belah pihak.

Pertarungan kemudian berlanjut di Pilpres 2019. Jokowi dan Prabowo kembali bertarung berhadap-hadapan. Satu kondisi yang sangat berpengaruh dalam memperdalam keterbelahan antar dua pihak. Bahkan, meskipun Prabowo yang kalah di 2019 memilih bergabung ke kabinet Jokowi, keterbelahan di masyarakat pendukung kedua kandidat itu sudah terlanjur mendalam.

Yang menakutkan, keterbelahan ini seakan ingin dirawat dan dilanjutkan di 2024. Ganjar pranowo dianggap sebagai penerus Jokowi dan representasi cebong, sedangkan Anies dianggap sebagai representasi kadrun. Pertanyaan besar kemudian mengemuka, mengapa ada upaya untuk merawat polarisasi ini, padahal dampaknya sangat merusak bangsa kita?

Tentunya karena ada pihak-pihak yang mereguk untung dengan meluasnya politik pecah belah ini. Baik keuntungan material, maupun keuntungan elektoral. Mereka inilah yang sebenarnya menjadi sumber permasalahan. Bukan Anies, bukan Ganjar. Tapi, pelaku yang mengekalkan sebutan-sebutan cebong, kampret, kadrun. Yang sibuk melabel pihak yang berbeda menggunakan sebutan-sebutan yang semakin mengekalkan polarisasi.

Solusinya, mari kita lawan kelompok penyebab polarisasi ini. Kalau ada parpol yang mereguk untung dari politik pecah belah selama ini, mari kita hukum dengan tidak memilihnya. Kalau ada buzzer di media sosial yang sibuk memainkan narasi ini, mari kita hukum dengan melaporkan akunnya.

Bukan malah mencoba menggabungkan dua tokoh yang sebenarnya tidak ada hubungan dengan politik pecah belah atau polarisasi ini sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden. Bisa-bisa malah menimbulkan masalah baru, bukannya menyelesaikan masalah polarisasi.

Iklan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!