Tidak Tergoda Kekuasaan, SBY Konsisten Menjaga Demokrasi

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) disambut warga Kota Bertuah di area Car Free Day (CFD) Jalan Jenderal Sudirman, Kota Pekanbaru, Provinsi Riau, Minggu (16/12/2018).
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) disambut warga Kota Bertuah di area Car Free Day (CFD) Jalan Jenderal Sudirman, Kota Pekanbaru, Provinsi Riau, Minggu (16/12/2018).

TajukPolitik – Kekuasaan itu memang menggoda. Para pemabuk kekuasaan hari ini berupaya mempertahankan status quo yang mereka miliki. Wacana perpanjangan ataupun penambahan masa jabatan terus digulirkan, meski sudah banyak pertentangan akan hal itu.

Mengutip dari presiden legendaris Amerika, Abraham Lincoln mengatakan, “semua orang tahan dengan kesengsaraan, tetapi apabila ingin mengetahui karakter seseorang, berilah dia kekuasaan”.

Untungnya, setelah “kediktatoran” rezim Orde Baru, kita punya role model pemimpin yang sadar, bahwa pembatasan masa jabatan, ketaatan akan konstitusi, dan menjaga prinsip-prinsip demokrasi adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi.

Hal ini setidaknya bisa menjadi tools, baik kepada rakyat maupun kepada pemimpin berkuasa, bahwa bangsa ini pernah melewati ujian dan sukses menjaga serta merawat demokrasi itu sendiri.

Mari kita buka catatan perjalanan demokrasi bangsa ini 12 tahun lalu. Saat itu wacana perpanjangan masa jabatan presiden bergulir begitu hebat. Untungnya, Presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) paham betul fondasi utama yang melatarbelakangi munculnya Gerakan reformasi pada 1997-1998, yakni penolakan secara mutlak dan permanen terhadap masa jabatan presiden lebih dari dua periode.

Dihadapan  Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) RI, pada 18 Agustus 2010, SBY dengan tegas mengatakan tidak sependapat dengan ide para pemabuk kekuasaan yang mencoba menjerumuskannya.

SBY mengatakan, dirinya tidak akan pernah mengkhianati cita-cita demokrasi. Apalagi sebagai mantan Ketua Fraksi ABRI, SBY merupakan pelaku utama dan terlibat langsung ketika penggodokan pembatasan masa jabatan digodok pasca reformasi 98.

“Ketika pikiran itu digodok (membatasi masa jabatan), saya Ketua Fraksi ABRI, saya pelaku utama dan terlibat langsung. Saya aktif mendorong masa jabatan presiden dibatasi. Jadi apakah mungkin nasa jabatan yang telah tepat, diubah?” tanya SBY menyesalkan wacana perpanjangan masa jabatan.

Komitmen menjaga demokrasi juga ditunjukkan SBY ketika mengeluarkan 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Perppu pertama yang ditandatangani SBY adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Perppu itu sekaligus mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang menagtur pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh DPRD.

Selanjutnya, sebagai konsekuensi dari penetapan Perppu Pilkada secara langsung tersebut, maka untuk menghilangkan ketidakpastian hukum di masyarakat, SBY kala itu juga menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang isinya menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih Kepala Daerah.

Kedua Perppu tersebut menurut SBY sebagai bentuk nyata dari perjuangannya bersama dengan rakyat Indonesia untuk tetap mempertahankan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung.

SBY juga menegaskan, dirinya sependapat dengan pandangan bahwa pilkada langsung adalah buah dari perjuangan reformasi.

“Sebagai bentuk konsistensi dan ucapan terima kasih kepada seluruh rakyat Indonesia yang telah memberikan kepercayaan kepada saya selaku Presiden selama dua periode ini, kiranya wajar jika saya tetap mendukung pilkada secara langsung,” ungkap SBY.

Dalam Perppu yang ditandatangani SBY, ia memasukkan 10 perbaikan agar rakyat mendapatkan pemimpin yang berkualitas hasil pilkada langsung.

  1. Ada uji public calon kepala daerah. Dengan uji public, kata SBY, dapat dicegah calon dengan integritas buruk dan kemampuan rendah.
  2. Penghematan atau pemotongan anggaran Pilkada secara signifikan, karena dirasakan selama ini biayanya terlalu besar.
  3. Mengatur kampanye dan pembatasan kampanye terbuka, agar biaya bisa lebih dihemat lagi, dan untuk mencegah benturan antar massa.
  4. Akuntabilitas penggunaan kampanye, termasuk dana social yang sering disalahgunakan. Tujuannya adalah untuk mencegah korupsi.
  5. Melarang politik uang, termasuk serangan fajar dan membayar parpol yang mengusung.
  6. Melarang fitnah dan kampanye hitam, karena bisa menyesatkan public dan juga sangat merugikan calon yang difitnah. Demi keadilan para pelaku fitnah perlu diberi sanksi hukum.
  7. Melarang pelibatan aparat birokrasi demi menjaga netralitas.
  8. Melarang pencopotan apparat birokrasi pasca Pilkada, karena pada saat pilkada, calon yang terpilih atau menang merasa tidak didukung oleh apparat birokrasi itu.
  9. Menyelesaikan sengketa hasil Pilkada secara akuntabel, pasti dan tidak berlarut-larut. Perlu ditetapkan sistem pengawasan yang efektif agar tidak terjadi korupsi atau penyuapan.
  10. Mencegah kekerasan dan menuntut tanggung jawab calon atas kepatuhan hukum pendukungnya.

(dcn)

Iklan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!