Pengusaha Kelapa Sawit Desak Sri Mulyani Hapus Pungutan Ekspor CPO

Sri Mulyani diminta hapus pungutan cpo

TajukPolitik – Pengusaha kelapa sawit mendesak Pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, untuk menghapus bea keluar dan pungutan ekspor minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO).

Pasalnya, bea keluar dan pungutan ekspor CPO tersebut kian memberatkan, terlebih di tengah belum pulihnya ekspor CPO saat ini. Kondisi ini membuat pengusaha sawit makin tertekan.

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Sumatera Utara Alexander Maha mengeluhkan banyaknya pengeluaran yang mencekik pengusaha sawit. Ia mencontohkan, per 1 Juli 2022, ada bea keluar senilai 288 dolar AS (setara Rp 4,3 juta) per ton CPO, pungutan ekspor 200 dolar AS (setara Rp 3 juta) per ton CPO, dan tarif tambahan flush out senilai 200 dolar AS per ton CPO.

Walhasil, total biaya yang harus dikeluarkan pengusaha mencapai 688 dolar AS atau setara Rp 10 juta per ton. Berarti, pengusaha harus membayar total pungutan Rp 10.000 per kilogram CPO. “Beban-beban pungutan itu terlampau besar,” ucap Alexander.

Bea keluar dan levy untuk ekspor CPO mencapai 688 dolar AS per ton di saat harga CPO dunia berada di kisaran 535 dolar AS per ton. Itu artinya bea keluar yang harus dikeluarkan pengusaha lebih besar dibandingkan harga CPO yang dijualnya.

Dia lalu membandingkan beban dan harga sawit sebelumnya. tarif bea keluar ekspor CPO pada 1 Juli 2019 hanya sebesar 50 dolar AS per ton dengan harga CPO saat itu rata-rata 453 dolar AS per ton. Kemudian, pada 1 Juli 2020, tarif bea keluar CPO naik menjadi 55 dolar AS per ton dengan harga CPO saat itu 523 dolar AS per ton.

Sedangkan pada 1 Juli 2021, tarif bea keluar CPO melonjak tajam menjadi 291 per dolar AS per ton, di saat harga CPO dunia mencapai 723 dolar AS per ton. “Kutipan ekspor sangat membebani perusahaan, jumlahnya sangat tinggi, diperkirakan 688 dolar AS per ton CPO setara Rp 10.000 per kilogram CPO TBS,” kata Alex.

Bak jatuh tertimpa tangga, di saat tarif kutipan ekspor CPO tinggi, pengusaha justru kesulitan menjual CPO ke luar negeri. Imbasnya, stok di tangki-tangki Pabrik Kelapa Sawit (PKS) pun melimpah. Bahkan beberapa PKS tak kuat lagi untuk menampungnya.

“Stok CPO Indonesia mendekati 8 juta ton, tangki-tangki di banyak PKS dan pelabuhan hampir penuh,” tutur dia.

Kondisi stok yang melimpah ini, lanjut Alex, menjadi salah satu biang kerok anjloknya harga tanda buah segar (TBS) sawit. Harga pembelian per kilogram TBS pada 4 Juli 2022 rata-rata Rp 916 di petani swadaya dan Rp 1.259 di petani plasma/mitra. Pada 5 Juli 2022, harga itu turun menjadi Rp 898 di petani swadaya dan Rp 1.236 di petani bermitra/plasma. Harga kembali turun pada 6 Juli 2022, menjadi Rp 811 di petani swadaya dan Rp 1.200 di petani mitra/plasma.

“Kondisi stok yang melimpah mencapai 8 juta ton (tangki-tangki di pabrik sebagian penuh dan hampir penuh). Perjuangan merebut pasar dunia yang sebagian sudah diisi produk substitusi (soy oil, sunflower oil, rapeseed oil) dan minyak nabati lainnya pada saat stop ekspor, kondisi perekonomian dunia yang kurang baik, dan pungutan ekspor yang tinggi menyebabkan harga TBS petani anjlok,” jelas dia.

Oleh sebab itu, Alex meminta Pemerintah untuk segera mencari solusi atas permasalahan di sektor sawit ini. Salah satunya dengan Sri Mulyani memangkas kutipan ekspor setidaknya hingga kondisi stok CPO di dalam negeri kembali normal.

“Kutipan ekspor segera dikurangi sampai stok CPO normal 3,5 juta-4 juta ton per bulan,” tutup dia.

Selain dari pengusaha Sri Mulyani juga dapat desakan dari Luhut Binsar Pandjaitan untuk menghapus bebabagai pungutan kelapasawit.

Iklan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!