Koalisi Masyarakat Sipil Nilai Ada 12 Aturan Bermasalah dalam RKUHP

Demonstrasi Tolak Pengesahan RKUHP
Ribuan massa memadati depan kantor DPR RI untuk melakukan aksi unjuk rasa menolak pengesahan RKUHP.

Tajukpolitik Koalisi masyarakat sipil menilai terdapat 12 aturan bermasalah dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undangan Hukum Pidana (RKUHP) terbaru yang disahkan menjadi UU dalam sidang paripurna DPR RI, Selasa (6/12).

Berikut ini 12 aturan bermasalah tersebut :

1. Pasal terkait living law atau hukum yang hidup di masyarakat. Koalisi menganggap pasal itu membuka celah penyalahgunaan hukum adat.

“Keberadaan pasal ini dalam RKUHP menjadikan pelaksanaan hukum adat yang sakral, bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri melainkan berpindah ke negara (yakni) polisi, jaksa, dan hakim,” demikian keterangan itu.

Tak hanya itu, koalisi menganggap aturan itu mengancam perempuan dan kelompok rentan lainnya.

“Sebagaimana diketahui, saat ini di Indonesia masih ada ratusan perda diskriminatif terhadap perempuan, dan kelompok rentan lainnya,” demikian isi keterangan itu.

2. Pasal soal hukuman mati. Koalisi masyarakat sipil menilai aturan itu tak sesuai dengan hak hidup seseorang. Padahal, banyak negara telah menghapuskan ketentuan hukuman mati dalam hukum pidananya.

3. Larangan penyebaran paham yang tak sesuai Pancasila. Dalam RKUHP, dimuat larangan penyebaran paham tak sesuai Pancasila, seperti ideologi komunisme atau marxisme atau leninisme. Koalisi menganggap frasa ini bisa digunakan untuk mengkriminalisasi kelompok oposisi penguasa. Sebab, tak ada penjelasan rinci soal frasa “Paham yang bertentangan dengan Pancasila,”.

4. Penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara. Dalam keterangannya, Koalisi menyebut Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet, dan menjadi pasal anti-demokrasi karena tidak ada penjelasan terkait kata ‘penghinaan’.

5. Soal contempt of court atau penghormatan pada badan peradilan. Koalisi menganggap aturan itu bermasalah karena tak ada penjelasan detail tentang frasa “penegak hukum”.

6. Soal kohabitasi atau hidup bersama di luar perkawinan. Pemerintah dinilai tak menyertakan penjelasan terkait frasa “Hidup bersama sebagai suami istri”. Pasal ini disebut bakal membuka celah persekusi dan pelanggaran ruang privat masyarakat.

7. Ketentuan tumpang tindih dalam Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Mestinya, pasal-pasal karet dalam UU ITE sepenuhnya dicabut dan tidak dimasukkan dalam RKUHP.

8. Larangan unjuk rasa. Koalisi mendesak agar unjuk rasa tidak dikekang persoalan izin, tetapi diganti dengan pemberitahuan.

9. Aturan soal pelanggaran HAM berat Koalisi menganggap unsur non-retroaktif dihilangkan. Sebab, unsur tersebut membuat pelanggaran HAM berat masa lalu dan pelanggaran HAM berat masa kini yang ada sebelum RKUHP baru disahkan tak bisa diadili.

10. Pasal soal kohabitasi. Adapun pasal soal kohabitasi dalam RKUHP dinilai bisa membuat korban pelecehan seksual dianggap sebagai pelaku.

11. Meringankan ancaman bagi koruptor. RKUHP dianggap memberikan ancaman pidana yang terlalu ringan dan tak memberikan efek jera pada koruptor.

12. Korporasi sulit dihukum. Koalisi berpandangan ada berbagai syarat dalam RKUHP yang membuat korporasi sulit dimintai pertanggung jawaban atas tindak pidana tertentu. Sebaliknya, lebih mudah membebankan tanggung jawab pada pengurus korporasi.

Koalisi menyebut hal ini justru rentan mengkritisi pengurus korporasi yang tidak memiliki kekayaan sebanyak korporasi, dan pengurus dapat dikenakan atau diganti hukuman badan. Pengaturan ini rentan mengendurkan perlindungan lingkungan yang mayoritas pelakunya adalah korporasi.

Iklan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!