Ekonom Khawatir Pengurangan Subsidi Saat Inflasi Tinggi Mengancam Fiskal Negara

TajukPolitik – Kecenderungan pemerintah mengurangi subsidi energi pada tahun depan akan menimbulkan kekhawatiran, terutama setelah harga-harga komoditas yang diprediksi turun pada tahun depan.

Hal tersebut dikatakan oleh Kepala Ekonom Bank Central Asia Tbk, David Sumual. Ia sependapat dengan perkiraan Menteri Keuanga Sri Mulyani Indrawati yang mengatakan harga-harga komoditas pada 2023 akan turun.

Tapi, dia mengingatkan, tren penurunan pada dasarnya telah terjadi sejak pertengahan tahun ini.

“Memang puncaknya terjadi di bulan Mei ya, kita lihat harga-harga komoditas itu sejak Mei mulai turun,” katanya, Selasa (9/8/2022).

David mengungkapkan turunnya harga-harga komoditas ini akan berimplikasi langsung terhadap penerimaan negara, terutama yang berkaitan dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Jika sumber penerimaan itu terganggu maka akan memengaruhi ruang fiskal pemerintah, termasuk untuk memberikan subsidi.

Apalagi, tambahnya, sesuai Undang-undang Nomor 2 Tahun 2020 pemerintah diharuskan kembali menekan defisit anggaran ke posisi di bawah 3 persen dari produk domestik bruto (PDB). Dengan begitu, kontraksi fiskal akan terjadi pada tahun depan di tengah gejolak perekonomian global masih terjadi.

Oleh sebab itu, David mengatakan, yang dikhawatirkan saat ini adalah kecenderungan pemerintah mulai mengurangi subsidi energi tahun depan karena semakin sempitnya ruang fiskal pada 2023. Padahal perekonomian dunia kini tengah menghadapi tingginya tekanan inflasi, dan tren kenaikan suku bunga acuan bank sentral negara maju.

“Karena kan menurut Kementerian Keuangan juga tahun depan masih akan cukup besar subsidi, terutama energi. Jadi sebetulnya yang paling kita khawatirkan risikonya itu,” ujar David.

David berpendapat, potensi harga-harga komoditas tahun depan serentak anjlok tidak bisa dipastikan. Pasalnya masih ada faktor konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang masih beperang, di tambah dengan memanasnya hubungan Taiwan dan China.

“Yang paling sulit diperkirakan itu sebetulnya adalah bagaimana kondisi geopolitik ke depan, itu yang paling susah karena ketika misalnya Putin menstop pengiriman gas ke Eropa misalnya itu akan mendorong kembali kenaikan harga,” pungkasnya.

Iklan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!