Banyak Masalah, Partai Buruh Ajukan Judical Review UU PPP ke MK

TajukPolitik – Partai Buruh menggugat Undang-Undang (UU) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Alasannya, UU itu dijadikan legitimasi atas UU Cipta Kerja yang sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK.

“Karena Undang-Undang PPP dibentuk bertujuan melegalkan Undang-Undang Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020,” kata kuasa Partai Buruh, Imam Nasef, dalam sidang judicial review yang tertuang dalam Risalah Sidang MK, Rabu (10/8/2022).

Padahal di dalam UU Cipta Kerja diatur berbagai macam pengaturan mengenai perburuan, pertanian, agraria, lingkungan hidup, dan seterusnya.

“Yang kesemuanya tersebut merugikan masyarakat kecil yang dibilang kepentingannya oleh Partai Buruh, termasuk anggota dan juga konstituen Partai Buruh,” ucap Imam Nasef.

Alhasil, Partai Buruh menilai UU PPP bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan:

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

“Oleh karena itu, Pemohon II sampai dengan Pemohon IX sebagai perseorangan warga negara tentu jelas memiliki hak konstitusional tersebut,” ucap Imam Nasef.

Alasan lain, pembentukan UU PPP prosedurnya tidak berpedoman pada tata cara tentang pembentukan undang‐undang sebagaimana diatur dalam Undang‐Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan.

“Yang ini menurut kami ini harusnya adalah isu-isu strategis yang harusnya kalau berdasarkan asas tadi, harusnya diakomodir. Tapi faktanya, Undang-Undang PPP ini revisinya hanya mengakomodir metode omnibus law dan juga soal partisipasinya, yang juga memang diperintahkan dalam putusan MK sebelumnya,” ucap Imam Nasef.

Salah satu cacat formil UU PP ialah ruang partisipasi publik sangat sempit dengan alasan terbatasnya waktu, konsultasi publik hanya dipenuhi dengan mendengarkan materi dari narasumber. Begitu pun narasumber dalam konsultasi publik juga masih minim yang memiliki keahlian di bidang pembentukan peraturan perundang- undangan yang dekat dalam rumpun ilmu hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Padahal, dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 harus ada partisipasi publik (meaningful participation).

“Justru mayoritas narasumber tersebut yang memiliki keahlian di bidang hukum pidana dan perdata yang jauh dari keahlian pembentukan peraturan perundang-undangan. Kemudian, dengan sempit dan terbatasnya ruang partisipasi publik dalam kegiatan roadshow ini mengabaikan partisipasi publik yang bermakna,” beber Imam Nafis.

Atas perbaikan permohonan itu, MK akan membawanya ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Apakah lolos untuk diadili ke sidang pokok materi judicial review atau tidak.

Iklan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!