Mirwan, Bupati Aceh Selatan, kini menjadi sorotan publik setelah diketahui melakukan ibadah umrah di saat daerahnya dilanda bencana banjir dan longsor. Tindakan ini memicu berbagai kritik dari banyak pihak yang melihatnya sebagai tindakan kurang sensitif terhadap keadaan darurat yang sedang berlangsung.
Sorotan tajam terhadap Mirwan semakin meningkat setelah ia sebelumnya menandatangani Surat Pernyataan Ketidaksanggupan untuk menangani darurat bencana pada 27 November 2025. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai komitmennya terhadap tanggung jawab yang diembannya sebagai kepala daerah.
Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, mengungkapkan bahwa keberangkatan Mirwan ke Tanah Suci tidak memiliki izin resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. “Yang bersangkutan tidak ada izin (untuk pergi umrah),” tegas Bima.
Bima Arya menekankan pentingnya bagi seorang kepala daerah untuk menyesuaikan rencana pribadi dengan situasi darurat yang dihadapi oleh daerahnya. “Seharusnya dalam kondisi seperti ini rencana umrah bisa disesuaikan. Harus fokus pada penanganan bencana,” tambahnya.
Dalam situasi mendesak seperti bencana alam, kehadiran pemimpin daerah di lokasi sangat krusial. Bima meminta agar para pemimpin daerah tetap berada di tempat kejadian untuk memastikan bahwa penanganan bencana dapat dilaksanakan dengan optimal. Tindakan meninggalkan daerah yang sedang menghadapi krisis dianggap sebagai sebuah kelalaian yang seharusnya dihindari oleh seorang pemimpin.
Sikap Mirwan ini mengingatkan kita akan tanggung jawab yang diemban oleh kepala daerah dalam situasi darurat. Tidak hanya secara moral, tetapi juga secara hukum, seorang pemimpin diharapkan untuk berada di tengah masyarakat yang sedang membutuhkan bantuan dan perlindungan. Kehadiran mereka dapat memberikan ketenangan dan kepercayaan kepada warga serta memastikan bahwa bantuan yang diperlukan datang tepat waktu.
Masyarakat pun tidak tinggal diam melihat situasi ini. Banyak yang mengungkapkan kekecewaan mereka melalui media sosial, menyampaikan bahwa tindakan Mirwan sangat tidak tepat dan tidak sensitif terhadap penderitaan yang dialami oleh warganya. Banyak yang berharap agar pemimpin mereka dapat lebih peka terhadap keadaan darurat dan memprioritaskan kebutuhan masyarakat di atas kepentingan pribadi.
Keputusan Mirwan untuk melaksanakan ibadah umrah pada saat seperti ini menimbulkan pertanyaan mengenai kepemimpinannya dan komitmennya terhadap rakyat. Apakah ia masih layak untuk memimpin daerah yang sedang menghadapi tantangan besar? Pertanyaan ini tentunya perlu dijawab oleh Mirwan sendiri dalam langkah-langkah yang akan diambilnya ke depan.
Kontroversi ini seharusnya menjadi pelajaran bagi semua pemimpin daerah. Tanggung jawab mereka bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk masyarakat yang telah memilih mereka. Menempatkan rencana pribadi dalam situasi darurat bisa menjadi bumerang dan mengundang kritik, seperti yang dialami Mirwan saat ini. Sangat penting bagi pemimpin untuk tetap berada di tengah-tengah masyarakat, terutama ketika situasi mengharuskan mereka untuk berbuat lebih dalam membantu dan mengatasi bencana yang dihadapi.




