BANGLISANTUY.COM – Gelombang protes yang melanda Nepal kini telah bertransformasi menjadi kerusuhan berdarah, setelah para pengunjuk rasa menyerang sejumlah gedung pemerintahan, kediaman para politisi, serta menteri senior.
Aksi ini dipicu oleh pemblokiran media sosial yang mengakibatkan sedikitnya 19 orang kehilangan nyawa, serta mendorong mundurnya Perdana Menteri KP Sharma Oli dan Presiden Ram Chandra Poudel.
Menurut laporan dari Al-Jazeera dan media lokal, ribuan demonstran membakar kompleks pemerintahan Singha Durbar, yang merupakan lokasi gedung parlemen dan kementerian penting, serta melakukan penggeledahan di rumah Perdana Menteri.
Untuk menanggulangi situasi yang semakin memburuk, helikopter militer dikerahkan guna mengevakuasi beberapa menteri yang terjebak di rumah mereka yang dikepung massa.
Rekaman yang beredar di media sosial menunjukkan mantan PM Sher Bahadur Deuba, istrinya yang juga menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Arzu Rana, serta Menteri Keuangan Bishnu Paudel, menjadi sasaran kemarahan para demonstran.
Paudel terlihat berlari di jalanan saat terdesak oleh para pengunjuk rasa, seperti yang dilaporkan oleh NDTV dan Times of India.
Kantor pusat Kantipur Media Group mengalami kebakaran, yang memicu kecaman dari Reporters Without Borders (RSF), yang menyerukan agar jurnalis tidak dijadikan target dalam situasi ini.
Di sisi lain, Bandara Kathmandu tetap beroperasi, meskipun sejumlah penerbangan dibatalkan akibat jarak pandang yang terganggu oleh asap kebakaran.
Situasi semakin memanas ketika PM Oli mengumumkan pengunduran dirinya pada Selasa (9/9). Tak lama kemudian, Presiden Poudel juga menyatakan mundur, meninggalkan Nepal dalam keadaan tanpa kepemimpinan eksekutif di tengah gejolak politik yang melanda.
Pasukan tentara Nepal kini melakukan patroli di ibu kota. Panglima Militer Jenderal Ashok Raj Sigdel melalui pesan video menyerukan agar semua pihak menahan diri dan lebih memilih dialog guna meredakan ketegangan.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengajak semua pihak untuk menahan diri demi menghindari eskalasi lebih lanjut dari situasi yang telah terjadi.
Kepala HAM PBB Volker Turk menyatakan keterkejutannya dan menyerukan perlunya perundingan untuk mencapai solusi damai.
Beberapa pengamat memprediksi bahwa Nepal mungkin perlu membentuk pemerintahan sementara dalam waktu dekat. “Para pengunjuk rasa, pemimpin yang mereka percayai, dan militer harus bersatu untuk membuka jalan transisi,” ungkap pengacara konstitusi Dipendra Jha kepada AFP.
Dalam situasi yang genting ini, Kementerian Luar Negeri RI mengonfirmasi bahwa tidak ada WNI yang menjadi korban. Direktur Perlindungan WNI Kemlu, Judha Nugraha, menyebutkan bahwa terdapat 57 WNI yang tinggal di Nepal, ditambah 43 delegasi RI yang sedang mengikuti konferensi internasional, 2 prajurit TNI yang tengah menjalani pelatihan, serta 23 wisatawan.
“KBRI Dhaka telah berkoordinasi dengan otoritas setempat dan komunitas Indonesia di Nepal. Hingga saat ini, semua WNI dalam keadaan aman,” jelas Judha. Ia juga mengimbau WNI untuk meningkatkan kewaspadaan, menjauhi kerumunan, serta melapor melalui hotline KBRI Dhaka jika mengalami keadaan darurat.
Aksi protes ini dikenal sebagai “unjuk rasa Gen Z”, yang muncul dari rasa frustrasi generasi muda Nepal terhadap maraknya korupsi, ketidakpastian ekonomi, serta minimnya kesempatan kerja.
Kerusuhan ini telah menjadi yang terburuk sejak Nepal menghapus sistem monarki pada tahun 2008, menandai babak baru dalam sejarah politik negara tersebut.